Histori wali nanggroe ini dijelaskan berdasarkan catatan dalam buku Larosse Grand Dictionary Universelle, yang menggambarkan tentang Kerajaan Aceh yang berkuasa di kepulauan Melayu atau Hindia Timur pada akhir abad 16 sampai abad 17.
Dalam buku itu dijelaskan bahwa pada tahun 1582, Bangsa Aceh telah memperluas kekuasaan atas di semenanjun Melayu serta mempunyai hubungan diplomasi dengan Hindia, Jepang, sampai ke Arab. Dalam buku itu disebutkan, pada tahun 1582 Sultan Aceh menyerang Portugis di Selat Malaka dengan armada yang terdiri dari 500 kapal perang serta 60.000 tentara laut dibawah pimpinan Laksamana Malahayati.
Sumber lainnya adalah dari Prof Willfred Contwell Smith yang mengatakan bahwa pada abad 16 sudah ada hubungan Maroko, Instanbul (Turki), Isfahan, Agra dimana Aceh sebagai pelaku sejarah di dalamnya. Kemudian pada tahun 1819 Kerajaan Aceh melakukan perjanjian kerjasama dengan Kerajaan Inggris karena saat itu Kerajaan Aceh sebagai penguasa di Selat Malaka.
Pada 26 Maret 1873 perang kemudian berkecamuk di Aceh. Sejak itulah
tanah Aceh setapak demi setapak diduduki Belanda, hingga Pusat Istana Pemerintahan Kerajaan Aceh (Dalam) dikuasai Belanda pada 24 Januari
1874. Kejatuhan Dalam itu diyakini akibat pengkhianatan dari dalam.
Empat hari kemudian dia mangkat akibat terkena wabah kolera di Lueng
Bata dan dimakamkan di Pagar Aye.
Beberapa hari kemudian jasadnya
dipindahkan ke Cot Bada, Samahani karena khawatir makamnya akan
dibongkar oleh Belanda. Dalam kecamuk perang itu kemudian Sulthan
Muhammad Daud Syah yang saat itu masih berusia 11 tahun diangkat menjadi
raja. Karena sulthan masih muda maka dibentuklah lembaga wali nanggroë.
Pembentukan itu dilakukan pada 25 Januari 1874 melalui musyawarah
Majelis Tuha peut yang terdiri dari, Tuwanku Muhammad Raja Keumala,
Tuwanku Banta Hasjem, Teuku Panglima Polem Raja Kuala dan Teungku Tjik
Di Tanph Abee Syech Abdul Wahab. Keputusan musyawarah tuha peut itu
menarik semua kekuasaan ke hadapan tuha peut.
Tiga hari kemudian
pada 28 Januari 1874, Ketua Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh Tuanku
Muhammad Raja Keumala mengambil keputusan untuk mempersatukan rakyat
Aceh diangkatlah Al Malik Al Mukarrah Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Saman
Bin Abdullah sebagai Wali Nanggroë Aceh yang pertama.
Setelah memimpin perang selama 17 tahun Tgk Tjik Di Tiro syahid akibat diracun di Kuta Aneuek Galong pada 29 Desember 1891. Tiga hari kemudian 1 Januari 1892 diangkatlah Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Amin Bin Muhammad Saman sebagai wali nanggroe Aceh yang kedua. Ia juga syahid pada tahun 1896 di Kuta Aneuek Galong. Wali nanggroe selanjutnya dijabat oleh Tgk Tjik Di Tiro Abdussalam Bin Muhammad Saman sebagai Wali Nanggroe ke tiga
Selanjutnya jabatan itu dipegang oleh Tgk Tjik Di Tiro Sulaiman Bin Muhammad Saman sebagai wali nanggroe keempat pada 1898 sampai syahidnya pada 1902. Sebagai penggantinya kemudian diangkat Tgk Tjik Di Tiro Ubaidillah Bin Muhamamd Saman, tiga tahun menjabat (1905) wali nangroe yang kelima itu syahid.
Jabatan itu kemudian diwariskan secara turun temurun dalam kecamuk
perang Aceh melawan Belanda. Sebagai wali nanggroe yang keenam pada
tahun 1905 diangkat Tgk Tjik Di Tiro Mayiddin Bin Muhamamd Saman sebagai Wali Nanggroe ke enam, ia
juga syahid dalam perang melawan Belanda pada 11 Desember 1910.
Sebagai pemangku sementara jabatan wali nanggroe kemudian ditunjuk Tgk
Tjik Ulhee Tutue alias Tgk Tjik Di Tiro di Garot Muhammad Hasan sebagai Wali Nanggroe ke tujuh yang
kemudian juga syahid dalam peperangan pada 3 Juni 1911. Sehari kemudian
jabatan itu diemban oleh Tgk Tjik Di Tiro Muaz Bin Muhammad Amin sebagai Wali Nanggroe ke delapan yang
kemudian syahid pada 3 Desember 1911 dalam peperangan melawan pasukan
Belanda pimpinan Kapten Smith. Sarakata wali nanggroe ditemukan oleh
Kapten Smith dalam teungkulok Tgk Tjik Di Tiro Muaz Bin Muhammad Amin,
yang kemudian disimpan di Museum Bronbeek Belanda
Pada tahun 1968 surat tersebut diambil oleh Tgk Hasan Muhammad Di Tiro
yang diserahkan langsung oleh Ratu Beatrix penguasa negeri Belanda. Pada
1971 Hasan Tiro kembali ke Aceh dan menyerahkan sarakata wali naggroe
tersebut kepada Tgk Tjik Di Tiro Umar Bin Mahyiddin. Pada saat itulah
Hasan Tiro diangkat menjadi Wali Nanggroe ke sembilan.
Pada bagian keenam rancangan qanun lembaga wali naggroe pasal 14, Hasan
Tiro disebut sebagai Wali Nanggroe Aceh yang kedelapan. Kemudian pada
poin dua pasal itu disebutkan bahwa berdasarkan hasil rapat sigom donya
di Stavanger, Norwegia pada 2 Juli 2002, apabila Hasan Tiro mangkat maka
diangkat Malik Mahmud sebagai Peurdana Meuntroe, Zaini Abdullah sebagai
Meuntroe Luwa, maka Malik Mahmud Al Haytar secara langsung menjadi pemangku
jabatan (waliul’ahdi) wali nanggroe sebagai pelaksana tugas wali
naggroe. Dan, Hasan Tiro sebagai wali naggroe yang kedelapan sudah mangkat pada 3
Juni 2010. Kini jabatan itu masih diemban Malik Mahmud sebagai
pelaksana tugas.
Pada 2 November 2012, Malik Mahmud Al Haytar diangkat sebagai Wali Nanggroe ke Sembilan di Propinsi Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar