Pengertian Pernikahan
Pernikahan adalah Sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk hidupNya baik pada manusia, hewan dan tumbuh -tumbuhan
yang merupakan salah satu cara Allah sebagai jalan bagi makhlukNya
untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Firman Allah SWT :
" Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan
Isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembang
biakan laki - laki dan perempuan yang banya ( Qs. Annisa :1)
(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dan jenis kamu sendiri pasangan-
pasangan, dan danjenis binatang ternak pasangan-pasangan pula, dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan cara itu ...Tidak ada sesuatu pun yang serupa denan Dia, dan
Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11).
Binatang ternak berpasangan untuk berkembang biak, manusia pun demikian, begitu pesan ayat
di atas. Tetapi dalam ayat di atas tidak disebutkan kalimat mawaddah dan rahmah, sebagaimana
ditegaskan ketika Al-Quran berbicara tetang pernikahan manusia.
makhluk hidupNya baik pada manusia, hewan dan tumbuh -tumbuhan
yang merupakan salah satu cara Allah sebagai jalan bagi makhlukNya
untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Firman Allah SWT :
" Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan
Isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembang
biakan laki - laki dan perempuan yang banya ( Qs. Annisa :1)
(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dan jenis kamu sendiri pasangan-
pasangan, dan danjenis binatang ternak pasangan-pasangan pula, dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan cara itu ...Tidak ada sesuatu pun yang serupa denan Dia, dan
Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11).
Binatang ternak berpasangan untuk berkembang biak, manusia pun demikian, begitu pesan ayat
di atas. Tetapi dalam ayat di atas tidak disebutkan kalimat mawaddah dan rahmah, sebagaimana
ditegaskan ketika Al-Quran berbicara tetang pernikahan manusia.
"Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu
pasangan-pasangan agar kamu (masing-masing) memperoleh ketenteraman dari (pasangan)-nya,
dari dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir (QS Al-Rum [30]: 21)."
Hukum Nikah
Hukum nikah menurut asalnya (taklifiyah)
adalah mubah. Yakni tidak mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan
dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
Nikah menurut majasi (wadl’iyah) ada empat kemungkinan:
- Kemungkinan bisa menjadi Sunnah bila Nikah menjadikan sebab ketenangan dalam beribadah. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
- Kemungkinan bisa menjadi wajib bila Nikah menghindarkan dari perbuatan zina dan dapat meningkatkan amal ibadah wajib. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
- Kemungkinan bisa menjadi haram bila nikah yakin akan menimbulkan kerusakan. Mendapat ancaman siksa bagi orang yang mengerjakan dan dan mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan.
- Kemungkinan bisa menjadi makruh karena berlainan kufu. Mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan dan tidak mendapat ancaman bagi orang yang mengerjakan.
Pelaksanaan Nikah
Menurut Hukum Islam, praktik Nikah ada tiga perkara:
- Nikah yang sah ialah: pelaksanaan akad nikah secara benar menurut tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, dan mengetahui ilmunya. Nikah seperti ini mendapat pahala dari Allah SWT.
- Nikah yang sah tetapi haram ialah: Pelaksanaan akad nikah secara benar sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan tetapi tidak mengetahui ilmunya. Praktik nikah seperti ini jelas berdosa.
- Nikah yang tidak sah dan haram ialah: Pelaksanaan akad nikah yang tidak sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, karena tidak mengetahui ilmunya dan praktiknya juga salah. Selain tidak benar praktik nikah seperti ini mengakibatkan berdosa.
Tujuan Pernikahan
Sepintas boleh jadi ada yang berkata, apalagi muda mudi, bahwa "pemenuhan kebutuhan seksual merupakan tujuan utama perkawinan, dan dengan demikian fungsi utamanya adalah reproduksi".
Benarkah demikian? Baiklah terlebih dahulu kita menggarisbawahi bahwa dalam pandangan ajaran Islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi bersih dan harus selalu bersih. Mengapa kotor, atau perlu dihindari, sedang Allah sendiri yang memerintahkannya secara tersirat melalui law of sex, bahkan secara tersurat antara lain dalam surat Al-Baqarah (2): 187,
"Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu), dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu" .
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Istri-istri kamu adalah ladang (tempat bercocok tanam) untukmu, maka datangilah (garaplah) ladang kamu
bagaimana~ saja kamu kehendaki (QS Al-Baqarah [2]: 223).
Mengapa demikian? Tidak lain karena manusia diberi tugas oleh-Nya untuk membangun peradaban, yaitu manusia diberi tugas untuk menjadi khalifah di dunia ini.
Cinta kasih, mawaddah dan rahmah yang dianugerahkan Allah kepada sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat tetapi mulia. Malaikat pun berkeinginan untuk melaksanakannya, tetapi kehormatan itu diserahkan Allah kepada manusia.
Hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri
seseorang kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz mahabat (penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel kereta api, bila hanya satu re1 saja kereta tak dapat berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.
Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran dengan menggunakan kata "menikah"yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan pada pendahuluan adalah "menghimpun".
Bahwa Al-Quran menggunakan kata wahabat khusus kepada Nabi Saw. adalah merupakan satu hal yang wajar, karena siapa pun dari umatnya wajar untuk melebur keinginannya demi kepentingan Nabi Saw." Demi Allah, kalian tidak beriman (secara sempurna sampai patuh keinginan hati kalian terhadap apa yang kusampaikan).
Demikian sabda Nabi Saw. Dalam kesempatan yang lain Nabi bersabda:
" Salah seorang di antara kamu tidak beriman, sehingga dia mencintai aku lebih dari cintanya terhadap orang
tuanya, anaknya dan seluruh manusia" (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik).
Makna ini sejalan dengan firman Allah, Nabi (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari pada
diri mereka sendiri (QS Al-Ahzab [33]: 6). Itulah Kalimat Allah dalam hal sahnya perkawinan; kalimat itu
sendiri menurut Al-Quran: Telah sempurna sebagai kalimat yang benar dan adil, dan
tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya (QS
Al-An'am [6]: 115).
"Dia penuh kebajikan" (QS Al-A'raf [7]: 137), lagi "Dan kalimat Allah itulah yang Mahatinggi" (QS Al-Tawbah [9): 40). Dengan kalimat itulah Allah menganugerahkan kepada Nabi Zakaria yang telah berusia lanjut, lagi istrinya mandul, "seorang anak bernama Yahya yang menjadi panutan, pandai menjaga diri, serta menjadi Nabi" (QS Ali 'Imran [3]: 39). Dengan kalimat itu Allah menciptakan Isa a.s. tanpa ayah, dan
diakuinya sebagai "seorang terkemuka di dunia dan di akherat, serta termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah" (QS Ali 'Imran [3]: 45).
Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa yang sedang mereka alami. Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu: kebenaran,
keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan dikaruniai anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.Tali - tali Perekat Pernikahan
Sepintas boleh jadi ada yang berkata, apalagi muda mudi, bahwa "pemenuhan kebutuhan seksual merupakan tujuan utama perkawinan, dan dengan demikian fungsi utamanya adalah reproduksi".
Benarkah demikian? Baiklah terlebih dahulu kita menggarisbawahi bahwa dalam pandangan ajaran Islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi bersih dan harus selalu bersih. Mengapa kotor, atau perlu dihindari, sedang Allah sendiri yang memerintahkannya secara tersirat melalui law of sex, bahkan secara tersurat antara lain dalam surat Al-Baqarah (2): 187,
"Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu), dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu" .
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Istri-istri kamu adalah ladang (tempat bercocok tanam) untukmu, maka datangilah (garaplah) ladang kamu
bagaimana~ saja kamu kehendaki (QS Al-Baqarah [2]: 223).
Mengapa demikian? Tidak lain karena manusia diberi tugas oleh-Nya untuk membangun peradaban, yaitu manusia diberi tugas untuk menjadi khalifah di dunia ini.
Cinta kasih, mawaddah dan rahmah yang dianugerahkan Allah kepada sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat tetapi mulia. Malaikat pun berkeinginan untuk melaksanakannya, tetapi kehormatan itu diserahkan Allah kepada manusia.
Hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri
seseorang kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz mahabat (penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel kereta api, bila hanya satu re1 saja kereta tak dapat berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.
Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran dengan menggunakan kata "menikah"yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan pada pendahuluan adalah "menghimpun".
Bahwa Al-Quran menggunakan kata wahabat khusus kepada Nabi Saw. adalah merupakan satu hal yang wajar, karena siapa pun dari umatnya wajar untuk melebur keinginannya demi kepentingan Nabi Saw." Demi Allah, kalian tidak beriman (secara sempurna sampai patuh keinginan hati kalian terhadap apa yang kusampaikan).
Demikian sabda Nabi Saw. Dalam kesempatan yang lain Nabi bersabda:
" Salah seorang di antara kamu tidak beriman, sehingga dia mencintai aku lebih dari cintanya terhadap orang
tuanya, anaknya dan seluruh manusia" (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik).
Makna ini sejalan dengan firman Allah, Nabi (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari pada
diri mereka sendiri (QS Al-Ahzab [33]: 6). Itulah Kalimat Allah dalam hal sahnya perkawinan; kalimat itu
sendiri menurut Al-Quran: Telah sempurna sebagai kalimat yang benar dan adil, dan
tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya (QS
Al-An'am [6]: 115).
"Dia penuh kebajikan" (QS Al-A'raf [7]: 137), lagi "Dan kalimat Allah itulah yang Mahatinggi" (QS Al-Tawbah [9): 40). Dengan kalimat itulah Allah menganugerahkan kepada Nabi Zakaria yang telah berusia lanjut, lagi istrinya mandul, "seorang anak bernama Yahya yang menjadi panutan, pandai menjaga diri, serta menjadi Nabi" (QS Ali 'Imran [3]: 39). Dengan kalimat itu Allah menciptakan Isa a.s. tanpa ayah, dan
diakuinya sebagai "seorang terkemuka di dunia dan di akherat, serta termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah" (QS Ali 'Imran [3]: 45).
Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa yang sedang mereka alami. Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu: kebenaran,
keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan dikaruniai anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.Tali - tali Perekat Pernikahan
Cinta, mawaddah, rahmah dan amanah Allah, itulah tali temali
ruhani perekat perkawinan, sehingga kalau cinta pupus dan
mawaddah putus, masih ada rahmat, dan kalau pun ini tidak
tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama,
amanahnya terpelihara, karena Al-Quran memerintahkan,
Pergaulilah istri-istrimu dengan baik dan apabila kamu
tidak lagi menyukai (mencintai) mereka (jangan putuskan
tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak
menyenangi sesuatu tetapi Allah menjadikan padanya (di
balik itu) kebaikan yang banyak (QS Al-Nisa' [4]: l9).
Mawaddah, tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-, yang maknanya
berkisar pada kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah
kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia
adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya
kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang
bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan
hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta.
Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari
keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk
dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari
pasangannya). Begitu lebih kurang komentar pakar Al-Quran
Ibrahim Al-Biqa'i (1480 M) ketika menafsirkan ayat yang
berbicara tentang mawaddah.
Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati
akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang
bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam
kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri akan
bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan
kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu
dan mengeruhkannya.
Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan
perkawinan karena betapapun hebatnya seseorang, ia pasti
memiliki kelemahan, dan betapapun lemahnya seseorang, pasti
ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari
keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha
untuk saling melengkapi.
Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk
kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka (QS
Al-Baqarah [2]: 187).
Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami-istri saling
membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi
juga berarti bahwa suami istri --orang masing-masing menurut
kodratnya memiliki kekurangan-- harus dapat berfungsi "menutup
kekurangan pasangannya". sebagaimana pakaian menutup aurat
(kekurangan) pemakainya.
Pernikahan adalah amanah, digarisbawahi oleh Rasul Saw. dalam
sabdanya,
Kalian menerima istri berdasar amanah Allah.
Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain
disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena
kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara
dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi
amanat itu.
Istri adalah amanah di pelukan suami, suami pun amanat di
pangkuan istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga
masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa
percaya dan aman itu. Suami --demikian juga istri-- tidak akan
menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada
pasangannya.
Kesedihan seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang
lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang
membesarkannya, dan "mengganti" semua itu dengan penuh
kerelaan untuk hidup bersama lelaki "asing" yang menjadi
suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam.
Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia
merasa yakin bahwa kebahagiannnya bersama suami akan lebih
besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak, dan
pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan
saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan
istri kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al-Quran
mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh) (QS Al-Nisa'
[4): 21).
Imam Al-Ghazali menulis, "Ketahuilah bahwa yang dimaksud
dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak
mengganggunya, tetapi bersabar dalam kesalahannya, serta
memperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia
menumpahkan emosi dan kemarahannya."
"Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua
belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal
tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan
pemerintah, dan dalam kedudukannya seperti itu, dia
berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya
(istrinya). Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan
mengikutinya, tetapi di sisi lain perempuan mempunyai hak
terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan
diskusi." Demikian lebih kurang tulis Al-Imam Fakhruddin
Ar-Razi.
Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh, sehingga
keretakan hubungan dikhawatirkan terjadi, maka barulah keluar
kamar menghubungi orang-tua atau orang yang dituakan untuk
meminta nasihatnya, atau bahkan barulah diharapkan campur
tangan orang bijak untuk menyelesaikannya. Dalam konteks ini
Al-Quran berpesan,
Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka utuslah seorang hakam (juru damai) dari
keluarga laki-laki, dan seorang hakam dari ke1uarga
perempuan. Jika keduanya (suami istri dan para hakam)
ingin mengadakan perbaikan, niscapa Allah memberi
bimbingan kepada keduanya (suami istri). Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Nisa'
[4]: 35).
Betapa Indahnya Pernikahan Itu dalam Islam, Mengapa Harus Terjadi KDRT?
Referensi :
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Tabyin al Ishlah li Muridi an-Nikah karangan Syaikh min ahli
as-Syariah wa at-Thariqah wa al Haqiqah, al ‘Allamah Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum bin Abu Syuja’
dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak
mengganggunya, tetapi bersabar dalam kesalahannya, serta
memperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia
menumpahkan emosi dan kemarahannya."
"Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua
belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal
tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan
pemerintah, dan dalam kedudukannya seperti itu, dia
berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya
(istrinya). Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan
mengikutinya, tetapi di sisi lain perempuan mempunyai hak
terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan
diskusi." Demikian lebih kurang tulis Al-Imam Fakhruddin
Ar-Razi.
Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh, sehingga
keretakan hubungan dikhawatirkan terjadi, maka barulah keluar
kamar menghubungi orang-tua atau orang yang dituakan untuk
meminta nasihatnya, atau bahkan barulah diharapkan campur
tangan orang bijak untuk menyelesaikannya. Dalam konteks ini
Al-Quran berpesan,
Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka utuslah seorang hakam (juru damai) dari
keluarga laki-laki, dan seorang hakam dari ke1uarga
perempuan. Jika keduanya (suami istri dan para hakam)
ingin mengadakan perbaikan, niscapa Allah memberi
bimbingan kepada keduanya (suami istri). Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Nisa'
[4]: 35).
Betapa Indahnya Pernikahan Itu dalam Islam, Mengapa Harus Terjadi KDRT?
Referensi :
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Tabyin al Ishlah li Muridi an-Nikah karangan Syaikh min ahli
as-Syariah wa at-Thariqah wa al Haqiqah, al ‘Allamah Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum bin Abu Syuja’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar